By: Claudia Siregar |
Kartoadisoebroto, juga dikenal sebagai The Broto, bukan band yang akan hilang dari pikiran begitu saja. Pertama kali mendengar namanya, hal yang terlintas di pikiran adalah grup gamelan atau grup wayang. Ternyata tidak jauh-jauh dari situ, band “traditional heavy metal” ini memang memiliki keunikannya tersendiri yang tidak lain tidak bukan adalah pembauran antara pengaruh 70’s classic rock, lo-fi doom metal, dan pengaruh dari budaya Jawa dan sejarah Indonesia dalam menulis lirik dan menentukan tema lagu sesuai dengan namanya. Saat mendengarkan single terbaru mereka yang berjudul Rape The Traitor, saya mengingat kembali penggunaan sejarah dalam karya musik band-band metal zaman baheula.
Pertama-tama, mari kita membedah Rape The Traitor sebagai single. Lagu ini dikemas dengan cerita-cerita dan juga kritik terhadap masyarakat yang cukup nyelekit. Di awal lagu ada sebuah voiceover menyindir generasi sekarang yang kebanyakan merasa bahwa genre musik rock, punk, dan metal sudah tidak relevan. Sarkasme yang sudah menjadi ciri khas dalam musik heavy metal dan punk ini pun berlanjut dengan lirik yang dibalut cerita-cerita perang masa lalu dan pengaruh 80’s heavy metal dan doom, dihiasi banyak riff gitar dan solo gitar yang cukup melodik. Satu kelemahan dari produksi single ini: sebagian besar lirik tidak terdengar dengan jelas akibat efek produksi. Namun ini tidak menjadi masalah besar – dengan sound design yang bisa dibilang agak lo-fi namun cocok untuk sebuah lagu dengan nuansa nostalgik, Rape The Traitor lebih berat di melodi dibanding vokal, dan ini adalah sebuah perpaduan yang cukup cocok. Dari segi produksi dan lirik, Rape The Traitor adalah lagu yang memiliki nuansa historical yang kental.
Tidak hanya dari segi sound dan lirik, The Broto juga nostalgik dalam artian mereka melakukan sesuatu yang dilakukan band-band metal lama lewat Rape The Traitor. Konsep lagu ini keseluruhan (dan single lama mereka Vereenigde Oostindische Chaos) sendiri adalah sebuah nostalgia. Band-band metal masa lalu kerap kali membahas sejarah dan masa lalu dalam lagu-lagu mereka, contohnya Iron Maiden yang menceritakan sejarah melalui karya-karya mereka seperti Hallowed Be Thy Name, Mother Russia, dan penggunaan excerpt pidato Winston Churchill untuk pembukaan konser mereka. Tentunya, ini dilakukan dengan sentuhan mereka sendiri, seperti penggunaan neraka, surga, setan, dan malaikat sebagai simbol untuk hal-hal duniawi. Judas Priest melakukan hal yang tidak jauh berbeda dengan album Painkiller dan Nostradamus.
Tidak jauh-jauh dari pesan band-band metal masa lalu, The Broto mengajak kita untuk tidak melupakan sejarah – sesuatu yang pastinya tidak bisa kita lakukan saat mendengarkan single terbaru band traditional heavy metal ini. Sebagai penutup, izinkan saya meng-quote kata-kata presiden pertama Indonesia Soekarno: “Djangan sekali-sekali meninggalkan sejarah!” (dan mengoreksi satu hal yang selama ini banyak orang kira benar: slogan “Jasmerah” sendiri tidak diciptakan oleh sang presiden, tapi oleh gerakan mahasiswa Kesatuan Aksi 66. Ya, sama-sama).
Listen to The Broto here: